Budaya , Kesenian , Adat Istiadat, Pengertian budaya, Definisi budaya, Budaya jawa, Budaya lokal, Budaya sunda, Sosial budaya

Kamis, 01 Maret 2012

I Gusti Ktut Kobot , Bonnet dan Perkumpulan Seniman Pitamaha

Oleh: Agung bagus Wicaksono
            Seni rupa di bali semakin berkembang dikarenakan tangan – tangan para pelukis Ekspatriat, pemilik modal dan akses pasar,serta media masa. Untuk kepentingan tertentu,peranan tangan – tangan pelukis Ekspatriat sering kali memunculkan sejarah yang tidak adil, tidak objektif  serta banyak menguntungkan pihak seniman Ekspatriat. Seni rupa di Bali adalah gabungan dari dua kekayaan sejarah seni rupa, yaitu antara sejarah seni tradisi di Ubud yang dikembangkan lewat seniman rupa Bali turun-temurun, juga sejarah “seni rupa Eropa”. Kedua latar inilah yang bergabung dalam perhimpunan seniman Pita Maha di Bali yang terbentuk pada tahun 1936,

           Lebih dari lima dekade khususnya  Ubud dan Pita Maha telah memberi warna yang berbeda pada dunia seni rupa melalui mitos besarnya sebagai pusat kelahiran seni lukis modern Bali. Ubud telah memposisikan diri melalui sentuhan penulis-penulis asing—sebagai sejarah tunggal dengan meniadakan sejarah  seni lukis modern Bali lainnya. Tentu keterbatasan pembacaan yang berakibat pada ketidakadilan sejarah tidak bisa semata-mata dipusatkan kepada Ubud, yang memang terbukti memiliki andil yang tidak kecil dalam perkembangan seni lukis modern Bali.
             Hal yang memperihatinkan adalah betapa minim ulasan, kritik, atau teks sejarah yang membahas komunitas seni lukis di luar pelukis ekspatriat  Pita Maha., belum ada penulis seni rupa Indonesia yang secara serius meneliti dan mengkaji komunitas pelukis Sanur—oleh pengamat asing diberi sebutan “Sanur School”—yang diyakini telah berkembang sejak awal tahun 1930-an (bersamaan dengan gerakan Pita Maha). Keberadaan pelukis-pelukis Sanur tahun 1930-an hanya disebut sepintas lalu dalam beberapa buku terbitan luar negeri (lebih bernuansa antropologis) yang ditulis para peneliti asing.
                Salah satu pelukis terkemuka di Ubud adalah I Gusti Ketut Kobot beliau memulai karirnya menjadi seorang seniman ,berawal dari kecintaanya terhadap budaya di Bali khususnya di tempat tinggalnya di daerah  Pengosekan, Gianyar, Bali. Beliau lahir pada tahun 1917. Dia  yang membuat contoh  pembuatan seni lukis Wayang Kulit (wayang kulit) sebelum ia mulai titik pada kertas dan kain. Karya-karyanya mencerminkan latar belakang klasik, karena sebagian besar tema-nya diambil dari literatur epik.
             Kobot adalah anggota asosiasi seniman Pitamaha ', tetapi gayanya tetap sangat individualistis dengan warna-warna lembut dan angka kurang bergaya yang masih didasarkan pada ikonografi wayang dan mitologi epik. Hal ini disebabkan pengaruh Rudolf Bonnet (Belanda, 1895-1978). Penghargaan: Wija Kesuma (Gianyar, Bali 1977), Dharma Kusuma (Bali, 1981). Pameran: Meseum Nasional (Jakarta, Indonesia, 1995) Persahabatan Indonesia-Jepang Festival (Morioka, Tokyo 1997). eksistensi karya I Gusti Ketut Kobot ditinjau dari garis, bentuk komposisi, warna dan teknik pengajarannya, serta peranannya dalam pembinaan seni lukis. Data dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara, dan studi kepustakaan.
             Sampel ditentukan dengan teknik purposive sampling dan quota sampling yaitu sebanyak 45 seniman di Ubud sebagai responden. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa karya I Gusti Ketut Kobot menunjukkan originalitas yang terwujud dalam kemantapan teknik aburan, kekuatan bentuk yang didukung oleh garis lembut dan ornamentis, kematangan dalam mengolah warna, pemahaman tema yang sangat dalam. Karena kepribadiannya tersebut Kobot diberi kepercayaan oleh Rudolf Bonnet untuk membina pelukis berikutnya. Kobot dianggap sebagai guru yang bijaksana dan melahirkan beberapa seniman yang cukup mempunyai nama. Disimpulkan bahwa I Gusti Ketut Kobot sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni lukis di Bali pada umumnya, dan di Ubud pada khususnya. Disarankan kepada generasi penerus atau murid-muridnya untuk mempertahankan dan mengembangkan karya I Gusti Ketut Kobot.
                Pada jaman melukis wayang, mereka hanya mengenal 5 jenis warna saja, yang diolah sendiri dari bahan-bahan yang mudah didapat di alam bebas. Misalnya, warna merah diperoleh dari olahan akar pohon khusus, warna biru dari tumbuh-tumbuhan tertentu, warna kuning dari sejenis tanah liat yang disebut atal, warna oker dibuat dari bahan-bahan mineral, warna hitam dari jelaga, dan warna putih dibikin dari tumbukan tulang babi. Dari warna pokok ini mereka bisa membuat warna hijau dengan mencampur kuning dan biru, atau warna coklat yang merupakan campuran merah dan hitam. Alat-alat yang dipergunakan melukis pun masih sangat tradisional. Mereka menggunakan penelak, sepotong bambu kecil yang diruncingkan untuk membuat kontur lukisan. Untuk menyapukan warna yang fungsinya mirip dengan kuas, mereka menggunakan penuli, sepotong bambu yang salah satu ujungnya ditumbuk hingga lunak.
                 Tema pewayangan telah menjadi tema kolektif mereka. Kisah Ramayana dan Mahabarata yang diwariskan turun temurun lewat pembacaan sastra di daun lontar begitu mengendap dalam ruang jiwa mereka. Hal ini diperkuat lagi dengan pementasan wayang kulit yang menjadi hiburan umum dan sarana pendidikan budi pekerti masyarakatnya. Jadi dapat dimaklumi, ketika menulis sastra atau melukis pun yang keluar dari alam imajinasi mereka adalah dunia pewayangan.
                 Pita Maha sebagai wadah interaksi bagi pelukis dan pematung Ubud, Penestanan, Pengosekan, Peliatan, Batuan dan Kamasan, telah menjadi gerakan pembaharuan dalam seni lukis Bali. Dalam Pita Maha, pelukis-pelukis yang kebanyakan berusia muda tersebut dibimbing mengenal perspektif seni lukis modern, seperti anatomi, komposisi, teknik pewarnaan, penggunaan alat-alat baru, bahkan sampai pada penggalian tema yang lebih mengutamakan kebebasan kreativitas individu (di luar kisah pewayangan).
          Mengingat semakin banyaknya pelukis-pelukis baru yang bermunculan serta kepentingan menyelamatkan karya-karya masterpiece pelukis Bali, Bonnet dan Cokorde Gde Agung Sukawati sepakat membangun sebuah museum khusus seni lukis dan patung. Maka pada tahun 1953 proyek pembangunan Museum Puri Lukisan mulai dilaksanakan dengan mengambil lokasi di Ubud. Tahun 1958 Bonnet kembali ke Belanda karena situasi politik di Indonesia yang tidak menguntungkan. Sepeninggal Bonnet, kegiatan Golongan Pelukis Ubud tidak terdengar lagi, meski para pelukisnya terus berkarya seiring kegiatan pariwisata yang makin berkembang. Tahun 1972 (hanya 4 bulan) Bonnet kembali lagi ke Ubud untuk menuntaskan pembangunan Museum Puri Lukisan
               Sanur sampai sekarang hanya dikenal sebatas sebagai salah satu objek wisata pantai yang menarik dan ramai. Kalaupun Sanur dikenal karena seni lukisnya biasanya orang akan merujuk pada pelukis Belgia, Le Mayeur, yang menetap di pinggiran pantai Sanur bersama istrinya yang cantik, Ni Polok. Kini rumah Le Mayeur yang asri dan sejuk itu oleh pemerintah dijadikan museum yang khusus menyimpan karya-karya Le Mayeur. Museum tersebut juga menjadi salah satu daya tarik Sanur selain pantainya.
               Sanur sebagai salah satu kantong dan pusat perkembangan seni lukis modern di Bali seakan luput dari pengamatan para sejarawan dan penulis seni rupa Indonesia. Seni lukis Sanur telah ditengggelamkan oleh mitos seni lukis Ubud dengan kebesaran nama Pita Maha-nya. Padahal Van der Tuuk, seorang peneliti linguistik dari Belanda, pernah menyebutkan bahwa tradisi melukis dan membuat wayang begitu besar dan hampir tersebar di seluruh wilayah Bali, seperti di Kamasan (Klungkung), Sanur (Badung), Ubud, Singaraja, Bangli, Karangasem, Kerambitan (Tabanan), dan beberapa daerah lainnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Sanur sejak dulu telah dianggap salah satu kantong seni lukis.
              Dibandingkan Ubud, Sanur merupakan wilayah yang terlebih dahulu berinteraksi dengan orang asing (Belanda). Pada tahun 1906, ketika ekspedisi Belanda menyerang Kerajaan Badung (dikenal dengan perang Puputan Badung) pasukan Belanda mengambil titik pendaratan dan penyerangan dari pantai Sanur. Penyerangan ini dilakukan Belanda dengan alasan bahwa kapal Sri Komala milik Belanda dirampas setelah terdampar di pantai Sanur. Perampasan ini berani dilakukan rakyat Bali karena pemberlakuan Hak Tawan Karang, yang salah satu ketentuannya berbunyi bahwa kapal beserta isinya yang terdampar di wilayah kerajaan Bali merupakan hak milik kerajaan beserta rakyat Bali
Agung Bagus Wicaksono, Mahasiswa Jurusan seni Rupa FIB Universitas Brawijaya

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : I Gusti Ktut Kobot , Bonnet dan Perkumpulan Seniman Pitamaha

0 komentar:

Posting Komentar