Budaya , Kesenian , Adat Istiadat, Pengertian budaya, Definisi budaya, Budaya jawa, Budaya lokal, Budaya sunda, Sosial budaya

Kamis, 08 Maret 2012

Neo Modernisme Fazlur Rahman

Oleh: Rizky Aprella Permatasari

           Gerakan pembaharuan yang diusung oleh para pembaharu muslim kiranya memberikan banyak kontribusi untuk kebangkitan umat islam khususnya di abad ke-21 ini. Dalam perspektif historis, gerakan yang pertama kali membuka mata umat muslim akan keterpurukannya ialah gerakan kaum modernisme klasik. Gerakan inilah yang mulai membukakan pintu gerbang untuk bisa saling menyapa dengan barat yang sedang berada pada puncak kejayaannya. Namun gerakan ini masih terbentur pada dua kelemahan mendasar.   
           Pertama, kelompok ini belum tuntas mengelaborasi metode yang dikembangkannya. Kedua masalah-masalah yang dikaji mereka ialah masalah yang pada dan bagi dunia barat, sehingga hal ini memberikan kesan yang kuat bahwa kaum modernis bersifat westernized (kebarat-baratan). Sisi inilah yang menjadi suatu faktor yang memunculkan gerakan yang lain yaitu neo-revivalisme. Meskipun demikian kerja keras kelompok ini membuahkan prestasi yang tidak kecil. Berkat mereka yang telah membuka diri dengan dunia barat, umat Islam menjadi lebih apresiatif terhadap intelektualisme. Adapun gerakan neo-revivalisme yang merupakan anti tesis dari gerakan modernisme dinilai kurang bisa menjadi solusi yang tuntas terhadap masalah-masalah aktual yang dihadapi umat. Di samping sikap mereka yang anti-barat, mereka juga tidak mampu mengembangkan metodologi apapun, oleh karenanya mereka menemukan kesulitan dalam menentukan tujuan mereka.

        Kelemahan-kelemahan itu mengundang lahirnya kelompok pembaruan lain yang disebut neo-modernisme. Melalui sikap kritis-objektif, neo-modernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh. Sejalan dengan itu, warisan pemikiran Islam (turats) harus tetep diapresiasi dan diletakan secara proporsional. Bahkan menurut Azyumardi Azra, neomodernisme sebagai gerakan Islam lebih menekankan signifikansi warisan pemikiran Islam ketimbang modernisme itu sendiri. Bila didekati secara mendalam, gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang kuat untuk melestarikan turats dalam satu bingkai yang analisis yang kritis dan sistematis.
              Neo-Modernisme adalah gerakan pembaharuan Islam yang muncul sebagai jawaban atas kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada gerakan-gerakan pembaharuan Islam yang muncul sebelumnya, Modernisme Klasik dan Neo-Revivalisme. Demikian pula, aliran ini hadir untuk mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-aliran pemikiran Islam lain di masa awal dan pertengahan. Aliran       Neo-Modernisme mencoba untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan objektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan Barat sekaligus. Dalam paradigma aliran ini, tidak semua hasil pemikiran ulama dan ilmuan muslim itu baik, benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, tetapi ada juga pemikiran dan aspek spiritual mereka yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Qurani. Demikian pula halnya Barat, tidak dapat selamanya diidentikkan dengan segala kebobrokan dan hal-hal negative. Masih banyak hal-hal baik dari dunia barat yang dapat diambil kedalam bangunan intelektual Islam. Dalam hal ini, umat Islam dituntut untuk menyikapi semua itu secara objektik dan kritis tanpa harus memilih pra-konsepsi yang akan membuat bias pandangan mereka dari realitas.
         Melalui pandangan yang objektif dan kritis, neo-Modernisme ingin membangun Islam dengan berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh, menyeluruh dan sistematis, yang mencerminkan nilai-nilai Al-Quran dan teladan Nabi yang sebenarnya, sehingga umatnya mampu eksis dalam dunia modern dan sekaligus tetap Islami. Untuk itu, disiplin ilmu keIslaman sebagai bagian dari Islam perlu dibangun dan dikembangkan diatas landasan nilai-nilai dasar tersebut. Sejalan dengan itu, warisan pemikiran Islam harus tetap diapresisi dan diletakkan sebagaimana mestinya. Bahkan, hal itu dianggap lebih penting dari pada modernisme itu sendiri.
            Fazlur Rahman adalah salah seorang tokoh yang secara intelektual dididik dan dibesarkan dalam tradisi keagamaan Islam yang kuat dan dunia keilmuan Barat yang kritis. Pengembaraan Intelektualnya akhirnya mengantarkan dia kearah Mazhab Neo-Modernisme dengan wacana yang bersifat humanis-religius.

Biografi Singkat Fazlur Rahman
     Fazlur Rahman lahir pada 21 September 1919 di distrik Hazara, Punjab, suatu daerah di anak benua India-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam suatu keluarga dengan tradisi keagamaan yang cukup kuat dan mengikuti aliran mazhab Hanafi.
     Fazlur Rahman menerima pengajaran dan pendidikan koservatif-tradisional mengenai kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Shahab al-Din dan Madrasah Deoband. Pada usia sepuluh tahun, ia sudah berhasil menghafal al-Quran diluar kepala. Ketika berusia empat belas tahun, ia sudah belajar filsafat, bahasa Arab, Teologi, Hadis, dan Tafsir. Intelektualitasnya semakin teguh dengan penguasaanya dalam berbagai bahasa; Persia, Urdu, Inggris, Prancis, dan Jerman. Disamping itu, ia juga memiliki pengetahuan tentang bahasa eropa kuno, seperti latin dan Yunani. Pada tahun 1940, tokoh neo-Modernisme ini menyelesaikan program B.A. dan dua tahun kemudian ia meraih gelar M.A. dalam bahasa Arab dari Universitas Punjab, Lahore.
     Selanjutnay ia memutuskan mengambil gelar Doktor ke Universitas Oxford. Setelah meraih gelar Doktoral, Fazlur Rahaman mengajar di Universitas Durham Inggris selama beberapa tahun. Pada tahun 1960 ia kembali ke Pakistan karena diminta oleh Ayyub Khan presiden Pakistan untuk ikut membangun negaranya.

Gagasan dan Ide Pembaharuan Fazlur Rahman
             Menurut Fazlur Rahman tentang kelompok tradisional–konservatif sudah tidak mampu lagi membedakan antara Islam sejarah dan Islam cita-cita, hingga mereka demikian terikat dengan Islam yang sudah menjadi sejarah itu. Mereka telah kehilangan kemerdekaan berfikir dan kemandirian dalam memahami Islam. Mereka menyembah sejarah, bukan menyembah Allah swt. Ironisnya, kelompok tradisionalis itu justru beranggapan bahwa kemerdekaan berfikir merupakan bahaya dan ancaman besar bagi Islam, yakni Islam sebagaimana yang mereka fahami.

Metode Kritik Sejarah Pemikiran Fazlur Rahman
     Abad-abad pertama pertumbuhan Islam dinilai sebagai masa keemasan. Namur Sangat disayangkan, perkembangan peradaban Islam menjadi lumpuh ketika penafsiran terhadap al-Quran dan Sunnah Nabi terhenti sebagai sunnah yang hidup, sebagai proses terus menerus, dan dipandang sebagai perwujudan kehendak tuhan, serta generasi awal Amat Islam dijadikan sebagai bagian kepercayaan lebih dari pada sekedar bagia sejarah. Dalam kondisi semacam itu, Islam menjadi agama beku dan kehilangan kreatifitasnya. Islam tidak dapat berkembang, tidak mampu lagi menjadi acuan yang sebenarnya dalam kehidupan actual, dan dalam menyelesaikan masalah-masalah faktual Amat Islam.
     Oleh karena itu untuk mengembaikan dinamika Islam, Rahman menyarankan adanya pemisah antara Islam normatif dan Islam sejarah. Islam normati diyakini sebagai sesuatu yang bernilai abadi dan dituntut untuk selalu menjadi rujukan dalam keberagaman Amat Islam. Adapun Islam sejarah merupakan pemahaman konstektual yang harus selalu dkaji dan dirumuskan kembal melalui pancaran bimbingan al-Quran dan teladan Sunnah Nabi.

Sekilas Pintas Produk Pemikiran Fazlur Rahman
•Tuhan : Eksistensi Yang Fungsional
          Salah satu produk pemikiran Rahman yang paling intim ialah konsepsinya tentang Tuhan. Menurutnya, Perkataan Allah, nama Tuhan yang sesungguhnya, disebutkan lebih dari 2500 kali dalam Al-Qur’an ( belum termasuk ar-Rabb, ar-Rahman dan ar-Rahim ). Meskipun demikian, Al-Qur’an bukanlah sebuah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Menurut Al-Qur’an, eksistensi Tuhan benar-benar bersifat fungsional.
Dia adalah Pencipta serta Pemelihara alam semesta dan manusia ; terutama sekali Dia-lah yang memberikan petunjuk kepada manusia dan akan mengadili manusia nanti, bail secara individual maupun kolektif, dengan keadilan yang penuh belas-kasih. Urutan sifat Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, pemberi petunjuk, keadilan dan belas kasih ini saling terjalin berkelinduan sebagai sebuah kesatuan organis di dalam konsep Al-Qur’an mengenai Tuhan.Keempat sifat Tuhan yang saling berkaitan inilah yang merepresentasikan eksistensi Tuhan yang fungsional.
•Al-Qur’an Versi Rahman
              Konsep Rahman tentang al-Qur’an sebagaimana yang dapat disimpulkan dalam bukunya Islam adalah, Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam Allah), dan dalam pengertian biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi, al-qur’an murni kata-kata ilahi, namun tentu saja ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata Ilahi mengalir melalui hati nabi.”
                Pernyataan inilah yang menyebabkan ia divonis sebagai munkir Al-Qur’an. Definisi Rahman di atas mengasumsikan bahwa pola hubungan atau model pewahyuan yang dibangun antara Al-Qur’an (the text), Allah adalah pengarang (the author) dan Muhammad (the reader and the author). Pengasumsian Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara ini menegaskan bahwa secara psikologi, Muhammad berparisipasi baik mental maupun intelektual dalam penerimaan wahyu itu. Oleh karena itu, al-qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni perjuangan nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.
              Menurut Rahman Kalam Ilahi yang bersifat transenden (muta’aliyah) yang – dalam istilah ulama klasik – berbentuk kalam nafsi / kalam mental, tanpa huruf dan suara, ketika dikonversikan ke alam manusia maka kalam tersebut menjadi perkataan Muhammad yang immanen. Maka pernyataannya yang mengatakan Al-Qur’an adalah perkataan Muhammad, erat kaitannya dengan proses pewahyuan. proses penerimaan wahyu dari jibril kepada Nabi Muhammad tidak seperti layaknya seorang tukang pos yang memberikan surat kepada si penerima surat.
            Bagi Rahman, proses pewahyuan lebih merupakan peristiwa psikologis daripada fisis. Pemikirannya ini terpengaruh oleh Syekh Wali Allah dan Muhammad Iqbal. Malaikat Jibril dalam pandangan Rahman adalah makhluk spiritual dan supranatural yang tidak mungkin berwujud layaknya sebuah person yang kemudian berbicara kepada Nabi seperti seorang menteri berbicara kepada sekretaris presiden. Menurut Rahman, secara psikologi, ide dan kata merupakan suatu entitas organis serta lahir dalam pikiran Nabi secara serempak. Namun, karena asal mula kompleksitas antara perasaan dan ide kata ini terletak di luar kontrol Nabi dan merupakan suatu fiil kreatif, maka ia harus dipandang sebagai sumber yang berada di luar Nabi.
Rahman juga sependapat dengan Iqbal, bahwa ketika Tuhan hendak mengkomunikasikan suatu petunjuk yang dimaksudkan untuk abadi hingga akhir zaman, Dia menundukan fikiran Nabi dalam suatu cara tertentu dalam hati nurani (pure heart). Rangkaian kata-kata dikeluarkan dari fakultas rasional Nabi melelui perantara Malaikat
•Konsep Sunnah Nabi
          Adapun konsep sunnah dalam pandangan Fazlur Rahman adalah merupakan respon dan bantahan terhadap pandangan orentalis yang mengatakan bahwa sunnah dan hadits nabi  tidak memiliki akar historis dari nabi, misalnya Ignaz Goldziher menilai bahwa menentukan mana hadits yang benar-benar asli dari Nabi merupakan tugas yang amat sulit. Kebanyakan teks hadits yang beredar sekarang ialah perkembangan historis keagamaan. Bahkan Margoliouth lebih parah lagi, dengan mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits atau sunnah yang ditinggalkan Nabi Muhammad, kecuali hanya tradisi bangsa Arab yang pra-Islam yang kemudian dimodofikasi Al-Qur’an. Untuk memberikan otoritas dan normativitas kepada tradisi itulah umat Islam pada abad ke dua hijriah mengembangkan konsep sunnah Nabi. Inilah yang menggugah Rahman untuk memberikan pemahaman yang proporsional terhadap sunnah Nabi.
            Menurut Rahman konsep sunnah memiliki dua arti yang komplementer, pertama; sunnah berarti berarti prilaku nabi, dan karenanya ia memperoleh sifat normatif. Dalam hal ini sunnah nabi atau sunnah normatif harus dipandang sebagai sebuah konsep teladan, pedoman dan konsep pengayoman yang umum yang terbungkus dalam ketentuan yang bersifat khusus. Pandangan ini membawa konsekuensi logis, yaitu perlu memahami perilaku nabi dalam bingkai konteks dan kerangka historis sosiologisnya.
Kedua; sepanjang tradisi (prilaku nabi) tersebut berlanjut secara diam-diam dan non-verbal, maka kata sunnah ini juga diterapkan pada kandungan aktual prilaku generasi sesudah nabi, selama prilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani prilaku nabi. Untuk yang terakhir ini isi sunnah dengan sendirinya pasti mengalami perubahan dan sebagian besar berasal dari praktek aktual masyarakat muslim hingga akhirnya diverbalisasikan menjadi kitab hadits. Oleh karena itu, ketika hadis dibakukan maka sunnah tidak berkembang. Ia terpasung dalam kitab yang diagendakan. Meskipun ia mengakui hadis sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, tetapi ia sangat kritis terhadapnya.

Metodologi Mazhab Neo-Modernisme dalam Memahami Al-Quran

        Metodologi yang ditawarkan Rahman untuk memahami Islam adalah dengan memposisikan al-Quran sebagai acuan utamanya. Tawaran metodologis inilah yang meberikan cap khas lepada neo-Modernisme-nya Rahman.
     Uraian ringkasan metodologi Rahman : Asumsi dasarnya adalah al-Quran harus difahami secara utuh dengan mempertimbangkan secara kritis latar belakang sosio-historis turunnya ayat. Bagi Rahman cita-cita moral al-Quran harus ditangkap terlebih dahulu sebelum orang merumuskan statu ketentuan hukum yang bersifat positif. Kasus-kasus warisan, poligami, jumlah saksi wanita untuk statu perkara misalnya, haruslah dilihat dibawah sinar cita-cita moral al-Quran itu.
     Misal kasus poligami. Dalam al-Quran kita menemukan statu hukum tentang bolehnya poligami asal dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Bila tidak, istri cukup satu saja. Kemudian pada surat yang sama , Alquran menegaskan bahwa seseorang tidak mungkin bersifat adil terhadap istri-istrinya. Tentang masalh ini menurut rahman kelihatanya ada satu kontradiksi dalam izin poligami sampai empat, antara tuntutan keadilan dan deklarasi tegas bahwa keadilan semacam itu tidak mungkin. Rahman menegaskan, Interpretasi tradisionalis adalah bahwa klausul izin mempunyai kekuatan legal, sementara tuntutan akan keadilan, sekalipun penting, diserahkan kepada kesadaran suami
          Dengan pertimbangan ini, Rahman kemudian mengungkapkan cita-cita moral Alquran tentang masalah perkawinan ini. Tegasnya, ia berpendapat bahwa pologami secara berangsur tapi pasti harus dihapuskan, kecuali dalam menghadapi kasusu-ksus yang Sangay darurat.
              Ringkasnya, metodologi dalam memahami Alquran yang ditawarkan rahman adalah pemahaman melalui gerakan ganda dari situasi kekini ke masa Alquran, kemudian balik lagi kemasa kini. Ada dua langkah yang harus di tempuh untuk gerakan pertama. Pertama, orang harus memehami makna dari suatu pernyataan tertentu dengan melihat situasi sejarah atau masalh yang kemudian diberi jawaban oleh Alquran itu (asbab al-nuzul). Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan tentang tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring, dari teks spesifik dengan memperhatikan latar belakang sosio-historisnya.

Rumusan Pandangan Teologi Fazlur Rahman
     Dari hasil analisisnya terhadap aliran-aliran teologi Islam sepanjang sejarahnya, baik teologi Mu’tazilah, Shiah maupun teologi Sunni, Rahman menemukan banyak kekurangan dan kelemahan. Menurutnya, hal itu terjadi karena masing-masing tidak memiliki konsep filosofis dan peralatan intelektual yang memadai untuk merumuskan posisi mereka masing-masing, sehingga berakibat masing-masing mengambil bentuk yang ekstrim.
     Kekurangan semacam itu dalam pandangan Fazlur Rahman, perlu direformasikan kembali, sehingga bentuk-bentuk doktrin yang ekstrim dan berat sebelah dapat diintegrasikan dalam suatu pemahaman yang utuh dan padu, serta mampu menangkap esensi Islam yang sebenarnya.
     Berdasarkan kepada keyakinan bahwa Alquran merupakan petunjuk bagi umat manusia, Rahman berusaha menjadikan kitab suci itu sebgai rujukan utama dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, khususnya teologi. Dengan pendekatan pemahaman yang menyeluruh terhadap Alquran, Rahman merumuskan suatu teoogi dengan meletakkan konsep-konsepnya dalam perspektif ketuhanan dan kemanusiaan, tanpa mempertentangkannya.
          Pada sisi inilah, letak perbedaan wacana teologi Fazlur Rahman dengan yang dikembangkan aliran-aliran teologi secara umum. Aliran Mu’tazilah dengan paradigma yang meletakkan kedudukan akal sejajar dengan atau bahkan diatas wahyu telah mengembangkan teologi Islam yang murni didasarkan kepada argumen-argumen rasional-dialektis semata. Sedangkan aliran Ash’ariyyah dan Maturidiyyah, meskipun berkeyakinan bahwa wahyu berada satu tingkat diatas kemampuan akal-rasional manusia, mereka dalam realitasnya terjebak kedalam metode dan pola yang dianut aliran Mu’tazilah.
         Di sini Fazlur Rahman mencoba menghindari metode dialektis (debat) murni dan sudut pandang yang terlalu mengarah keatas. Dia juga menjadikan filsafat dengan segala perangkatnya itu sebagai pendekatan yang esensial dalam menangkap arti-arti yang terkandung dalam Alquran. Disamping itu teologi dalam pandangan Fazlur rahman merupakan bagian dari disiplin ilmu-ilmu keIslaman yang bersifat dinamis, yang selalu harus ditelaah dan dikaji ulang.

Implikasi Metodologis Metode Hermeneutika Fazlur Rahman
              Penelaahan secara serius terhadap pemikiran Fazlur Rahman akan mengarahkan pada suatu kesimpulan bahwa ide-idenya menampakkan pembaruan yang sangat signifikan dalam beberapa aspek. Pembaruannya itu bukan sekedar “pembaruan”, tapi sarat dengan liberalisme yang transformatif dan otentik. Neo-modernisme yang diperkenalkannya pada dekade 70-an itu benar-benar menyuguhkan metodologi yang baru dalam pengembangan keimuan Islam sekaligus menjadi pintu gerbang untuk melahirkan pembaruan yang lainnya. Ia adalah mahaguru dari para pembaru yang ada sekarang. Adagium yang terkenal di kalangan tradisionalis “al-Muhafadzhah ‘ala al-Qadiim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlahi” diimplementasikan dengan baik oleh Falur Rahman dalam ide-ide neo-modernismenya ini.
               Metode-metode yang diusungnya itu, kiranya memiliki beberapa implikasi dalam diskursus Islam kontemporer, diantaranya ialah menggagas ulumul Qur’an dengan wajahnya yang baru sesuai dengan konteks kontemporer, menyuguhkan metodologi yang baru dalam pengembangan keilmuan Islam, menggeser paradigma keilmuan dari atomistik-skriptural menjadi paradigma holistik-liberal.

•Menggagas Ulumul Qur’an kontemporer
              Ulumul Qur’an dalam arti yang idlafy dan ditinjau dengan perspektif aplikasi (bi’tibaaril ‘amali) mencakup semua hal yang berhubungan dengan masalah interpretasi Al-Qur’an. Selama ini ulumul Qur’an hanya difahami secara isthilahy dan bi’tibaril ‘ilmi sehingga disiplin ilmu ini menjadi terpasung dalam pengertiannya secara konvensional. Rahman menyadari bahwa metode yang digunakan ulama klasik ini perlu di up date dalam rangka mendialogkan al-Qur’an dengan realitas sekarang. Maka ia mengadopsi sebuah perangkat baru yang berasal dari barat dalam menafsirkan Al-Qur’an yakni hermeneutika. Menurut Rahman, al-Qur’an itu ibarat puncak gunung es yang terapung. Yang terlihat hanya sepuluh persen, sedangkan sembilan puluh persen sisanya masih terendam di bawah permukaan air. Sembilan puluh persen inilah yang masih diselubungi keterbatasan metodolgis dan reifikasi sejarah. Oleh karena itulah ia berusaha merekonstruksi ulumul Qur’an yang menjadi alat untuk dapat menangkap pesan-pesan Tuhan dalam kitab suci itu.

•Menyuguhkan Metodologi Baru dalam wacana Keilmuan Islam
Pemikiran Rahman bertolak dari kritisisme yang dibangunnya. Dia melihat ada kesalahan pendekatan dalam mengkaji ilmu-ilmu Islam baik yang diusung oleh para sarjana barat maupun yang diwariskan dari ulama klasik Islam sendiri. Ia menilai harus ada upaya sungguh-sungguh untuk membenahi Islam dari dalam, yakni harus ada pembaruan yang dilakukan dari umat muslim sendiri. Gerakan neo-modernisme yang dia sendiri bertindak sebagai juru bicaranya diharapkan mampu mempresentasikan pembaharuan yang diinginkannya.
                Cara mengolah Qur’an dan Sunnah dengan hermeneutik yang memadukan unsur-unsur tradisional dengan unsur-unsur modern menjadi pokok utama ide pembaruan Rahman, sekaligus menembah warna baru dalam wacana keilmuan Islam. Selama ini dalam tradisi pemikiran Islam terutama dalam aktifitas eksegesis, banyak para ulama yang telah mengarang berjilid-jilid kitab tafsir dengan coraknya masing-masing. Namun di tengah fenomena umum maraknya penulisan kitab tafsir yang terjadi di kalangan umat Islam, metodologi dan pendekatan tafsir ternyata masih menjadi hal yang langka. Ini terlihat setidaknya dari kenyataan di mana umat Islam lebih tertarik pada usaha-usaha penulisan tafsir ketimbang membangun metodologinya. Hal inilah kiranya yang mengetuk pintu hati Rahman untuk merenovasi kembali tradisi pemikiran Islam dengan menyajikan sebuah metode komprehensif yang baru.

•Menggeser Paradigma Keilmuan dari Atomistik-Skriptural menuju Paradigma Holistik-Liberal               
                 Paradigma atau cara pandang terhadap sesuatu merupakan hal yang akan sangat mempengaruhi sesuatu tersebut dalam segala aspeknya. Perkembangan wacana keilmuan Islam dalam usianya yang telah memasuki 14 abad ini kiranya telah melewati beberapa   fase yang ditentukan oleh suatu paradigma di mana ilmu tersebut eksis dan menjadi suatu wacana yang diperbincangkan. Pada masa Nabi Muhammad telah dikenal Mazhab ahl al-ra’yi dan ahl al-hadith, inilah kiranya yang merupakan gerak awal dan cikal bakal perkembangan wacana Islam hingga terlihat seperti sekarang ini.
              Dalam perspektif historis kita mengenal adanya fiqh sahabat, fiqh Tabi’in, hingga dikenal fiqh kaum pembaru atau mazhab liberalisme. Kita juga mengenal adanya tradisi Ijtihad bi ra’y , penutupan pintu Ijtihad hingga masa-masa stagnasi pemikiran umat Islam. Semenjak kota Baghdad yang merupakan pusat peradaban dibumihanguskan oleh Hulaghu Khan pada tahun 1258, Umat Islam benar-benar terperosok ke dalam jurang stagnasi dan keterbelakangan dalam berbagai aspeknya.
                 Untuk bangkit kembali dari keterpurukan itu, umat Islam hanya memiliki teks suci itu sebagai solusinya, maka ketika untuk mendobrak stagnasi, umat Islam memiliki dua pilihan ; kembali secara ketat pada teks-teks Al-Qur’an dan Hadits (Skripturalisme) atau menggunakan penalaran dalam rangka menemukan ruh dan semangat dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah (Liberalisme). Namun cara mendobrak stagnasi dengan cara yang pertama kiranya hanya sebatas simplifikasi belaka. Cara ini dinilai tidak bisa menjawab masalah-masalah kontemporer dikarenakan menolak wacana intelektual, mengkaji agama secara atomistik dan parsial dan mudah mendorong orang ke arah fanatisme. Melihat fenomena seperti itu, Rahman menggagas suatu paradigma baru wacana keilmuan Islam yang holistik-liberal. Dengan paradigma ini, diharapkan seluruh kajian tentang Islam tidak hanya terhenti pada teks tetapi juga lebih jauh memperhatikan konteks. Paradigma ini juga mengintruksikan inklusivisme dan menghindari eksklusivisme yang berujung pada fanatisme

Karya-Karya Utama Fazlur Rahman
               Tulisan-tulisan akademis yang dihasilkan berjumlah ratusan, baik berupa buku, artikel maupun tinjauan buku. Adapun yang akan disebut berikut ini hanyalah buku-buku yang mewarisi gagasan sentralnya:
•Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy (1958); Buku ini merupakan perbandingan antara pandangan kaum filosof dan pandangan kaum teolog ortodoks (Ahl al-kalam) mengenai konsep kenabian dan wahyu.
•Islamic Methodology in History (1965); Di dalam buku ini, Rahman menjelaskan evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Alquran, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’). Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi Muhammad dan aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, yakni melalui instrumen qiyas terhadap sunnah ideal nabi SAW yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau ’sunnah yang hidup.’ Di sini, secara tegas Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi, dengan ’sunnah hidup’ kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan.
•Islam (1966); Buku yang salah satu bagian isinya menguraikan pandangan Rahman tentang hakikat pewahyuan al-Quran.
•The Philosophy of Mulla Shadra (1975)
•Major Themes of the Quran (1980); Dalam buku ini terdapat upaya untuk mencari metode yang tepat dalam menangkap arti al-Quran secara utuh dan sistematis.
•Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Traditional (1982); Di dalam buku ini, Rahman merekomendasikan perlunya pembedaan antara Islam normatif dan Islam historis. Menurutnya, Islam normatif adalah ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Nabi yang berbentuk nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip dasar. Sedangkan Islam historis adalah penafsiran yang dilakukan terhadap ajaran Islam dalam bentuknya yang beragam. Di satu sisi, pembedaan ini mensyaratkan adanya penafsiran yang sistematis, holistik, dan koheren terhadap Alquran dan Sunnah, sehingga nilai-nilainya yang transenden bisa digali dan ditemukan. Sementara di sisi yang lain, pembedaan tersebut juga mengharuskan adanya analisis dan peniliaian yang kritis terhadap praktik dan penafsiran Islam oleh para pemeluknya sepanjang sejarah. Dengan demikian, dari sisi yang pertama kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar normatifitas agama Islam. Untuk itu dibutuhkan metodologi yang tepat untuk menafsirkan secara akurat pesan-pesan normatif Alquran maupun Sunnah.
                Sedangkan dari sisi historis, kita akan mengetahui dimensi kesejarahan atau historisitas agama Islam. Hal ini ditujukan agar nilai-nilai agung dari aspek sejarah Islam tersebut bisa dieksplorasi lebih jauh ke depan. Untuk itu, diperlukan pula metodologi yang tepat untuk menyelami sejarah tersebut secara kritis. Pendekatan yang ditawarkan Fazlur Rahman untuk berinteraksi dengan Islam yang menyejarah itu adalah analisis historis. Melalui pendekatan historis ini pula, sains-sains Islam sebagai aspek historis harus dilestarikan. Sebab, menurut Rahman, Islam historis telah memberikan kontinuitas kepada dimensi intelektual dan spritual masyarakat. Melalui aspek historis, kajian yang menyeluruh dan sistematis terhadap perkembangan disiplin-disiplin Islam harus dilakukan. Kajian tersebut dibarengi dengan rekonstruksi yang juga bersifat komprehensif meliputi disiplin-disiplin keislaman yang ada. Sebab, suatu bentuk pengembangan pemikiran Islam yang tidak berakar dalam khazanah pemikiran Islam klasik atau lepas dari kemampuan menelusuri kesinambungannya dengan masa lalu adalah tidak otentik.
•Health and Medicine in the Islamic Traditional: Change and Identity (1987); Dalam buku ini berisi usaha untuk menafsirkan al-Quran, hadis dan sumber-sumber lain secara kritis, dengan tujuan untuk menunjukan sikap dan pandangan Islam dalam menangani masalah-masalh kehidupan umat manusia. Pada buku ini, hal itu lebih difokuskan pada bidang kesehatan dan pengobatan.

Neo-modernisme : Menuju Paradigma Baru Wacana Keilmuan Islam
              Ketegangan berfikir antara kaum ortodoks dan kaum modernis ketika suatu pembaruan diusung merupakan hal yang sukar dihindari, hal inilah yang juga merupakan salah satu dari beberapa pertimbangan dalam kontruksi pembaharan Fazulr Rahman, ia mencoba menjembatani keduanya dengan mengusung neo-modernisme. Ia tetap mengapresiasi warisan pemikiran Islam dengan diakomodasi dalam bingkai yang analitis-kritis sekaligus mengadopsi perangkat-perangkat modern. Ia mencoba membenahi beberapa kekurangan pembaruan sebelumnya yaitu modernisme dan neo-revivalisme, misalnya apresisasi dan akomodasi terhadap turats yang tidak mendapat perhatian sama sekali pada masa modernisme, kemudian ia menghindari pemujaan akal dengan menempatkannya setelah ilmu bahasa Arab, sebagai pembenahan atas konstruksi gagasan pembaruan kaum modernis yang terkesan over rasionalis.
                Neomodernisme yang diusung Fazlur Rahman ini merupakan penyegaran kembali tradisi pemikiran Islam. Di satu sisi, hal ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan dari gagasan pembaruan kaum modernis dan lebih jauh lagi, gagasan neomodernisme merupakan updating atas pemikiran para ulama klasik.
Pada akhir  kata, kita dapat menyimpulkan bahwa Fazlur Rahman telah menawarkan kepada kita suatu metodologi baru untuk memahami al-Quran berikut cara melaksanakannya dan mengamalkannya pada waktu sekarang, sebagai wujud tanggung jawab atas seruannya kepada umat Islam untuk menjawab tentangan modernitas dan perubahan sosiokultural dewasa ini. Siapapun bebas untuk menerima dan menolak pemikiran Rahman. Tetapi sebelum sampai kepada kesimpulan menerima atau menolak seluruh atau sebagiannya perlu lebih dahulu mempelajari secara seksama. Telaah kita terhadap wacana neo-Modernismenya Fazlur Rahman ini memang berangkat dari niatan diatas.
Rizky Aprella Permatasari, Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Neo Modernisme Fazlur Rahman

0 komentar:

Posting Komentar