Budaya , Kesenian , Adat Istiadat, Pengertian budaya, Definisi budaya, Budaya jawa, Budaya lokal, Budaya sunda, Sosial budaya

Jumat, 28 Juni 2013

Kerapan Sapi : Traditional Bull-race in Madura

 Oleh: Fitari Anggraeni
Asal Usul Kerapan Sapi
    Kata kerapan berasal dari kata kerap atau kirap yang artinya berangkat dan dilepas bersama-sama atau berbondong-bondong. Ada pula anggapan lain yang menyebutkan bahwa kata kerapan berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti persahabatan. Dalam pengertiannya yang umum sekarang kerapan adalah suatu atraksi lomba kecepatan sapi yang dikendarai oleh joki dengan menggunakan kaleles. Lahirnya kerapan sapi di Madura nampaknya sejalan dengan kondisi tanah pertanian yang luas di Madura.Tanah-tanah pertanian itu dikerjakan dengan bantuan binatang-binatang peliharaan seperti sapi dan kerbau. Karena banyaknya penduduk yang memelihara ternak, maka lama kelamaan muncullah pertunjukan kerapan sapi. Menurut cerita, kerapan sapi sudah ada di Madura sejak abad ke 15, pada masa akhir Kerajaan Majapahit.
          Disebutkan ada seorang tokoh Madura keturunan Ario Damar bernama Kyai Pratanu yang telah memanfaatkan kerapan sapi sebagai sarana untuk mengadakan penjelasan tentang agama Islam. Oleh sebab itu ajaran-ajarannya yang filosofis dihubungkan dengan posisi sapi dalam kerapan, di mana posisi sapi kanan (panglowar) dan sapi kiri (pangdalem) harus berjalan seimbang agar jalannya tetap “lurus”, begitulah dalam kehidupan di dunia manusia harus seimbang gerak hidupnya agar dapat berjalan lurus sampai ke tujuan, yaitu kembali kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Keberadaan kerapan sapi dilestarikan oleh keturunan Kyai Pratanu yang menjadi raja-raja di Madura dengan gelar Cakraningrat.

          Cerita lain menuturkan, bahwa pada abad ke-15 di Sapudi memerintah Panembahan Wlingi. Ia banyak berjasa dalam menanamkan cara-cara berternak sapi yang kemudian dilanjutkan oleh puteranya, Adi Poday. Sang putra lama mengembara di Madura daratan dan ia memanfaatkan pengalamannya di bidang pertanian di Pulau Sapudi sehingga pertanian semakin maju. Karena pertanian sangat maju pesat, maka dalam menggarap lahan itu para petani seringkali berlomba-lomba untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kesibukan berlomba-lomba untuk menyelesaikan pekerjaan itu akhirnya menimbulkan semacam olahraga atau lomba adu cepat yang disebut karapan sapi.

Berbagai macam Kerapan Sapi
    Di Madura dijumpai beberapa macam “kerapan sapi” yang memberikan klasifikasi kepada jenis dan kategori peserta karapan tersebut. Berbagai macam karapan sapi itu klasifikasinya sebagai berikut:
1.Kerap Keni’ (Kerapan Kecil)
         Kerapan jenis ini diadakan pada tingkat kecamatan atau kewedanaan.Para peserta adalah yang berasal dari daerah yang bersangkutan.Sapi kerap dari luar tidak diperbolahkan turut serta.Jarak tempuh hanya 110 meter.Dalam kategori ini yang diutamakan adalah kecepatan dan lurusnya.Kerap keni ini biasanya diikuti oleh sapi-sapi kecil dan baru belajar.Pemenangnya merupakan peserta untuk mengikuti kerap raja.
2.Kerap Rajha (Kerapan Besar)
        Kerapan besar ini disebut juga kerap negara, umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu.Ukuran lapangan 120 meter.Pesertanya adalah juara-juara kecamatan atau kewedanaan.
3.Kerap Onjhangan (Kerapan Undangan)
        Kerapan undangan adalah pacuan khusus yang diikuti oleh peserta yang diundang baik dari dalam kabupaten maupun luar kabupaten.Kerapan ini diadakan menurut waktu keperluan atau dalam acara peringatan hari-hari tertentu.
4.Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
         Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesdenan diadakan di kota Pamekasan pada hari Minggu, merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.
5.Kerap jhar-ajharan (kerapan latihan)
       Kerapan latihan tidak tertentu harinya, bisa diadakan pada setiap hari selesai dengan keinginan pemilik atau pelatih sapi-kerap itu.Pesertanya adalah sapi lokal.Persyaratan sapi-kerap tidaklah banyak, asalkan sapinya kuat dan diberi makanan yang cukup, dilatih lari, dipertandingkan dan diiringi dengan musik saronen.Konon beberapa pemilik sapi-kerap juga melengkapi kehebatan sapinya dengan menggunakan mantra-mantra serta sesajian tertentu. Sesungguhnya hal ini tidak dibenarkan dalam aturan sebuah lomba atau kerapan karena dianggap berhubungan dengan hal-hal bersifat magic.
            Pelaksanaan Kerapan. Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan, berparade agar dikenal. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi karena sudah lama ditambat, juga merupakan arena pamer akan keindahan pakaian/hiasan sapi-sapi yang akan berlomba. Sapi-sapi itu diberi pakaian berwarna-warni dan gantungan-gantungan genta di leher sapi bunyinya berdencing-dencing. Setelah parade selesai, pakaian hias mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat. Maka dimulailah babak penyisihan, yaitu dengan menentukan klasemen peserta, di mana peserta biasanya pada babak ini hanya berpacu sekedar untuk menentukan apakah sapinya akan dimasukkan “papan atas” atau “papan bawah”. Klasifikasi ini hanyalah merupakan taktik bertanding antar pelatih untuk mengatur strategi.
          Setelah penentuan klasemen,  dimulailah ronde penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat, yaitu babak final. Dalam ronde-ronde ini pertandingan memakai sistem gugur. Sapi-sapi kerap yang sudah dinyatakan kalah tidak berhak lagi ikut pertandingan babak selanjutnya.  Dalam mengatur taktik dan strategi bertanding ini masing-masing tim menggunakan tenaga-tenaga trampil untuk mempersiapkan sapi-sapi mereka. Orang-orang itu dikenal dengan sebutan: a) Tukang Tongko’: joki yang mengendalikan sapi pacuan; b) Tukang Tambeng: orang yang menahan kekang sapi sebelum dilepas; c) Tukang Gettak: orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba sapi itu melesat ke depan bagaikan abak panah; d) Tukang Tonja: orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi agar patuh pada kemauan pelatihnya; e) Tukang Gubra: anggota rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapinya dari tepi lapangan. Para Tukang ini tidak boleh memasuki lapangan dan hanya berfungsi sebagai suporter.  Demikian sekilas tentang Kerapan Sapi di Madura yang sudah merupakan acara hiburan tradisi yang masih lestari sebagai konsumsi wisatawan, tetapi juga telah membawa akibat positif bagi masyarakat Madura di bidang ekonomi, kreatifitas budaya dan sekaligus juga telah melestarikan penghargaan masyarakat terhadap warisan budaya nenek moyang.

Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Permainan Kerapan Sapi
        Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak,  di antaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (anggora rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan); pihak luar yang seringkali berperan besar dalam menentukan kemenangan sapi tertentu, yaitu para botoh yang bertaruh memanfaatkan kerapan sapi untuk perjudian.

Nilai budaya
        Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras.Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi. Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak.Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi.
               Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan.Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya.Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini. Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat.Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan.Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku.Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. 
 

DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, dkk,. 2003. Kamus Istilah Antropologi, Jakarta: Progres Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1991. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. http://id.wikipedia.org/
http://www.my-indonesia.info/
http://www.wisatanesia.com/2010/10/karapan-sapi.html
http://tretans.com/asal-usul-kerapan-sapi-madura
http://uun-halimah.blogspot.com/2008/08/kerapan-sapi-madura.html http://kapakcomunity.blogspot.com/2011/11/makalah-tentang-kerapan-sapi.html

http://www.pesantrenglobal.com/2013/06/kerapan sapi-bull-race-in-madura.html

*)Fitari Anggraeni, mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Cina FIB Universitas Brawijaya

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Kerapan Sapi : Traditional Bull-race in Madura

0 komentar:

Posting Komentar