Budaya , Kesenian , Adat Istiadat, Pengertian budaya, Definisi budaya, Budaya jawa, Budaya lokal, Budaya sunda, Sosial budaya

Rabu, 09 Juli 2014

Dahsyatnya Bahasa Manipulasi Buruk Menjadi Baik (Merenungi Pelecehan Jakarta Post)

Oleh: Taufan Hendro Baskoro*)
Tahukah anda apa nama penyakit akibat sex sembarangan? AIDS. Kenapa penyakit akibat perilaku ngawur ini singkatannya musti berarti ‘bantuan.’ Oke gimana dengan perilaku sexual menyimpang laki2 suka laki2? Jawabannya adalah gay yang mana artinya juga ’senang.’ Lho ini gimana toh? Bahkan perilaku racism akar katanya adalah race yang artinya adalah lomba cepat2an. Karena ini istilah digunakan oleh Darwin tentu saja cepat2an evolusi. Yang tentu saja pemenangnya adalah kulit putih. Lha kok? kenapa sikap jahat pada kelompok lain lagi2 disebut dengan istilah perlombaan yang seolah2 positif? Inilah dunia kita sekarang. Dunia yang sejak era Ferdinand de Saussure mulai menyadari bahwa bahasa sebagai tanda sifatnya adalah semena2. Itu artinya apa2 yang sebelumnya baik bisa dibuat jadi berarti buruk. Tentu saja ini hanya bisa terjadi jika dipercaya oleh banyak orang dan jalan terbaik agar banyak orang percaya adalah dengan mendoktrinkan setiap hari. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui media massa.
       Media massa mampu membelokkan perspektif mana yang baik dan mana yang buruk. Media massa yang awalnya digadang2 mampu muncul sebagai pahlawan dalam memberikan pendidikan bangsa terbukti hanyalah alat para penguasa dan pengusaha. Tidak berhenti pada kontroversi keberpihakan TVOne dan Metro TV terhadap wilayah sementara (Pilpres) sekarang media massa mulai bergerak pada sesuatu yang sifatnya lebih mendasar, yaitu agama. Perlakuan Jakarta Post dalam candanya yang kebablasan adalah merupakan bukti bahwa ada upaya mengasosiasikan Islam (yang akar katanya adalah Salam yang bisa berarti selamat atau damai) dengan teroris ataupun perusakan dan kekejaman. Upaya semacam ini aslinya sudah banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Tapi di Indonesia memang prosesnya terkesan sangat lambat. Hal ini dimungkinkan terjadi karena sifat beragama masyarakat Indonesia yang cenderung tradisionil sehingga sulit sekali diprovokasi. Hal ini tidak terlepas karena cara beragama di Indonesia yang diwakili pesantren2 Islam tradisional adalah cenderung damai dan nyantai.
         Jaman dulu setiap kali media asing melecehkan agama maka akan muncul seolah2 terjadi perdebatan antara agama satu dan lainnya. Biasanya diasumsikan orang Indonesia mewakili Islam sementara pihak asing biasanya akan diasosiasikan dengan Kristen. Tentu saja ini kurang ampuh untuk mengadu domba karena semakin didebat maka orang Islam Indonesia justru makin kuat keyakinannya. Tetapi konstelasi sekarang berubah. Media-media asing sekarang tidak lagi menyerang menggunakan agama lain. Mereka hadir sebagai sosok atheis. Dan ini sangat efektif. Ibarat pertandingan,  Anda pasti akan selalu kalah melawan kekosongan. Jika dulu berdebat dengan agama lain boleh jadi saling serang mulai kitab suci, dalil2, sejarah dan riwayat dll, maka sekarang karena lawan bicara bisa dengan sederhananya bilang saya tidak percaya adanya tuhan. selesai. Kenapa? Karena sekarang mereka bisa menyerang sejarah, riwayat dan apapun saja tanpa bisa diserang balik.
         Saya contohkan misal isu poligami? Nah dengan entengnya mereka akan bisa tampil dengan alasan HAM dll. Lantas Anda gak akan bisa nyerang balik. Misal Anda bilang ‘ah Anda juga gay.’ Bagi orang tidak bertuhan gak masalah kan? hayo???? atau ritual2 sholat yang musti menghadap ka’bah yang toh hanya bogkahan batu… Anda mau jawab gimana? begitu mau jelaskan dia cukup bilang ah itu karena Anda mulai dari kepercayaan kuno itu jadi gak rasional. Serangan semacam inilah yang sekarang mulai muncul dalam konstelasi beragama kita. Seandainya kita mau bertanya apa tujuan Jakarta Post? Adakah dia mewakili agama lain? tentu tidak. Apakah dia mewakili kepentingan asing? mungkin. Tapi yang jelas dia bergerak melalui kekosongan yang tidak bisa diserang. Boleh jadi pembuat lelucon minta maaf, koran ditarik dan selesai. Padahal aslinya produk kan sudah menyebar secara umum. Nanti pasti akan ada lagi berbagai produk semacam dan banyak jumlahnya. Kalo perlu ada meme nya yang menyebar lebih cepat.
         Ide bergerak melalui kekosongan inilah sebenarnya dalam cluster Lacan tergambar jelas pada Master discourse. (Lompati bagian ini jika anda tidak suka penjelasan akademik). Master (S1) sangat mudah diserang karena sifatnya yang mewakili (S) sebelum di barred. Nah keajaiban tentunya muncul di S2 yang mana akan selalu slide. Ibaratnya begini. Ada benda misal kursi (S). Maka S1 adalah kata ‘kursi.’ S2 berarti kursi adalah bla bla.. yang tidak akan pernah bisa berhenti karena setiap kata memerlukan penjelasan lagi. Oleh karena itu diperlukan ilusi adanya totalitas. Ilusi inilah aslinya yang disebut ideologi. Sehingga permainannya ada di S2. Media asing yang berpijak pada ideologi karena sifatnya ditaruh pada posisi S2 maka akan selalu mampu menghindar dari apapun. Karena sifat frame totalitas hanyalah ilusi tadi. Dalam hal menyerang agama tentunya paling mudah menggunakan kekosongan pula (dalam hal ini atheis).
         Lantas gimana cara menghadapi gempuran semacam ini? apakah mentang2 kita pendamai terus selalu diam? jawaban saya tidak. Sejarah kita juga mencatat bahwa umat Islam Indonesia adalah pejuang melawan penjajahan. Ini berarti kita juga berani berperang. Lantas apakah langsung kita gasak saja? Tidak. Mending kita ikut seperti umat katolik yang nurut kepada Paus. Kita musti kembali nurut kepada ulama2 kita. Jangan sampai mudah terprovokasi. Katolik kuat karena taat kepada Paus. Kita juga musti balik lagi seperti jaman dulu lagi saat kita masih taat pada ulama (ulama artinya orang yang berilmu). Jangan sampai beragama hanya dari bergoogle ria.  Ingat ini sudah bukan media asing lagi. Tapi pelan2 media2 yang justru menjadi antek2 asing di Indonesia. Semoga saja tidak. Tapi alangkah baiknya berjaga2.

*) -Dosen FIB Universitas Brawijaya
    -Mahasiswa Binghampton University New York


Sumber: Kompasiana.com

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Dahsyatnya Bahasa Manipulasi Buruk Menjadi Baik (Merenungi Pelecehan Jakarta Post)

0 komentar:

Posting Komentar