Budaya , Kesenian , Adat Istiadat, Pengertian budaya, Definisi budaya, Budaya jawa, Budaya lokal, Budaya sunda, Sosial budaya

Minggu, 06 November 2011

Agus Djaja - Pelukis Tiga Zaman 1913 - 1994

Oleh:Rizky Dwi Agnesiyana
MASA KECIL
        Agus Djaya lahir di Pandeglang, Banten tanggal 1 April 1913 dengan nama Raden Agus Djaya Suminta, putera dari R. Wirasandi Natadiningrat, dan Ibu Sarwanah Sunaeni. Beliau memiliki saudara sekandung, R. Otto Djaya yang juga terkenal sebagai pelukis besar Indonesia. Agus Djaya kecil pernah bercita-cita menjadi dokter karena di kalangan keluarga banyak yang menjabat profesi tersebut, namun rupanya bakat seni yang kuat dari sang ibu ditambah pengarahan dari guru gambarnya  semasa sekolah di H.I.S. Pandeglang, Suwanda Mihardja, membuat Agus Djaja  menjadi seorang pelukis. Setelah lulus HIS Agus Djaja melanjutkan sekolah ke MULO, Bandung  pada tahun 1923, kemudian ke Middelbare Landbouw School, Bogor (1923-1924), dan diteruskan ke H.I.K. Lembang, Bandung  tahun 1927.

MASA KOLONIAL BELANDA
              Di masa kolonial Belanda, dibentuk sebuah organisasi PERSAGI (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia) di mana Agus Djaya terpilih sebagai Ketua dan S. Sudjojono sebagai sekretaris. Pada masa itu beliau menjabat Guru Kepala dan Guru Gambar (Tekenleraar) MULO, Jakarta. Berkat ketekunan dan kerja keras selama 4 tahun, akhirnya beliau berhasil memamerkan karya rekan-rekan seniman PERSAGI yang kebanyakan otodidak. Pameran tersebut diadakan di Gedung Bataviasch Kunstkring, pada bulan Mei-Juni 1941. Adapun Ketua Bataviasch Kunstkring, Nyonya de Loos Haaxman dibantu seniman Jan Frank selaku ketua panitia seleksi pemasukan pada setiap pameran merupakan barometer Seni Lukis yang bertaraf internasional.

             Pameran tersebut merupakan tonggak sangat penting dalam sejarah seni lukis Indonesia, karena merupakan embrio lahirnya perwujudan Seni Lukis Indonesia Modern yang diakui dunia internasional, setahap dengan Seni Lukis Kontemporer Belanda saat itu. Di samping itu, pameran tersebut merupakan perwujudan dari generasi seniman Indonesia modern yang terampil secara batiniah serta dapat menikmati apresiasi yang lebih wajar dan memiliki kedudukan sosial yang lebih baik dan berkembang dari masa ke masa.
                Secara faktual, kejadian tersebut diakui secara resmi sebagai titik awal dari Sejarah Seni Lukis Indonesia Modern, baik dalam skala nasional maupun internasional. Nama seperti Raden Saleh yang tenar dianggap masih bersifat perorangan (individual) selain itu Raden Saleh  dipandang berkiblat ke barat.

MASA JEPANG
               Selama penjajahan Jepang, Agus Djaya memperoleh peluang emas untuk melanjutkan cita-cita mengembangkan Seni Lukis Indonesia Modern menjadi lebih maju. Dengan memperoleh rekomendasi dari Bung Karno, maka beliau diangkat menjadi Ketua Pusat Kebudayaan Indonesia, Bagian Seni Rupa (Keimin Bunka Sidosho). Kesempatan tersebut disambut gembira, karena beliau mendapat jaminan kebebasan operasional dan kebijakan dalam melaksanakan tugas. Begitu pula dengan jaminan dana, peralatan, dan lain-lain yang sangat memadai untuk saat itu.
                Agus Djaya memperoleh gedung khusus di Jl. Noordwijk Jakarta (kini lokasi Gedung Departemen Tenaga Kerja), sangat potensial menjadi Ruang Pameran, Studio Akademi Seni Lukis, ruang-ruang kantor, ruang tamu, akomodasi dan kantin. Sebagai Panitia Penasehat dan Pembantu Umum, tersedia satu panitia yang terdiri dari 4 seniman Jepang yaitu : Takashi Kohno, Yamamoto, Yoshioka, dan Ohno.
             Agus Djaya sempat diangkat sebagai Guru Kepala Cihaya Gakko, transformasi dari Arjuna School, sekolah percontohan untuk Pendidikan Dasar Indonesia, akan tetapi tak lama ia mengundurkan diri karena ketidaksetujuannya  atas sistem pembentukan murid-murid Indonesia menjadi pro Jepang. Ia  sempat ditawari jabatan Kepala Departemen Perkonomian di mana saat itu Ir. Juanda menjabat Kepala P.U. dan R. Sukanto sebagai Kepala Kepolisian. Namun Agus Djaya melepaskan tawaran ini untuk mengabdi dan memperjuangkan cita-citanya mengembangkan Seni Lukis Indonesia.
              Agus Djaya selaku Ketua Pusat Kebudayaan Indonesia Bagian Seni Rupa, telah berhasil mendirikan Akademi Seni Lukis pertama di Indonesia. Setiap tahun diadakan pameran-pameran besar bertaraf nasional dengan memberikan hadiah kehormatan dan hadiah-hadiah pemacu berupa uang. Para pengajar untuk Akademi Seni Lukis ini antara lain S.Sudjojono, mantan sekretaris PERSAGI,Basoeki Abdullah, dan Subanto (keduanya alumnus Akademi Seni Lukis di Den Haag, Belanda). 
                Periode ini telah melahirkan generasi kedua yang terdiri dari sekitar 40 Seniman Indonesia Modern antara lain: Affandi, Mochtar Apin, Zaini, Hendro Gunawan, Barli, Otto Djaya, Dullah, Henk Ngantung, dan lain-lain. Sejak saat itu perkembangan Seni Lukis Indonesia berjalan demikian pesat, sekalipun dalam suasana perang di Pasifik yang  masih berkecamuk. Hal ini berkat ketekunan dan ketabahan Agus Djaya selaku seniman dan promotor yang bercita-cita tinggi bekerja keras tanpa lelah.
             Pada pameran-pameran tingkat nasional, Agus Djaya sempat meraih Anugerah dan Hadiah Tertinggi antara lain: Saiko Sikikan Sho dari Commander in Chief, Jendral Imamura dan dari Gunseikan Sho (Gubernur Jepang).

SEBAGAI PEJUANG KEMERDEKAAN
              Sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, Agus Djaya bersama Sang Adik, Otto Djaya, seniman dan juga mantan PETA pindah ke Sukabumi dan bergabung dalam Resimen III Divisi III Sukabumi.
               Aktivitasnya saat itu adalah mengatur pasukan Laskar Rakyat dari berbagai organisasi pemuda seperti API, Pesindo, Lasykar Rakyat, Barisan Benteng, dan Hizbullah. Berbagai operasi gerilya yang diselingi diplomasi dan barter, telah menghasilkan sejumlah besar senjata, obat-obatan serta beberapa kendaraan bermotor untuk operasional. Sebagian besar hasil tersebut dikirim ke Markas Besar Angkatan Perang di Yogyakarta.
                 Salah satu prestasi Agus Djaya dalam perjuangan adalah operasi Psy-War dan Cultural Diplomacyselama berada di Belanda. Dalam Surat Perintah dari Menteri Pertahanan R.I. kepada Agus Djaya, Kolonel Intel dan Badan Rahasia Negara, ia terpilih dan diangkat sebagai utusan ke Belanda dengan Blanco Mandataris bertugas dengan segala cara dan daya mempercepat pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia oleh pihak Belanda.
              Karena terbatasnya dana dari pemerintah, Agus Djaya nekad menjual rumah gedung di Jl. Kramat Raya, Jakarta serta harta benda lainnya untuk biaya operasional selama menjalankan misi beliau di Belanda. Saat itu beliau tidak memikirkan pamrih dalam perjuangan karena sebagai seorang militer, beliau patuh menjalankan tugas yang harus diselesaikan, apalagi tugas tersebut berasal dari Kementerian Pertahanan Pemerintah Indonesia.
              Dalam misi, Agus Djaya berupaya mendekati dan bekerja sama dengan golongan “Etis” dan “Progresif” yaitu golongan para simpatisan pada kemerdekaan Indonesia. Golongan tersebut meliputi pimpinan organisasi masyarakat, Profesor, Mahasiswa, Seniman, Wartawan bahkan Politisi yang tersebar di Belanda. Saat itu Agus Djaya berperan sebagai Seniman, Mahasiswa, dan Jurnalisdi mana ia  terdaftar pada Kementerian Penerangan Belanda sebagai wartawan perwakilan luar negeri dari Merdeka Press pimpinan B.M. Diah.
              Di Belanda, Agus Djaya mendirikan Organisasi Seni Budaya Mahasiswa dengan nama Widjaya. Organisasi ini kemudian aktif mengadakan berbagai pertunjukan dan pameran di berbagai negara Eropa seperti Belgia, Perancis, dan Jerman untuk membuka wawasan internasional, memupuk simpati dunia pada perjuangan Rakyat Indonesia. Acara-acara tersebut juga untuk mencari dana guna membantu biaya studi para mahasiswa Indonesia di Belanda. Di antara tokoh-tokoh Belanda yang banyak memberi dukungan dan sumbangan dalam misi Agus Djaya dan kawan-kawan adalah Rector Magnificus, Prof. Dr. Heringa, Prof. Gelestin, Prof. Dr. Wertheim, Prof. Bavink, dan Jonkheer Sandberg, Direktur dari Stedelijk Museum dan Pemimpin Federasi Seniman Belanda yang sempat mengadakan manifesto pada Media Massa Belanda yang mengutuk aksi kekerasan dari tentara Belanda terhadap Indonesia.
              Markas Organisasi yang terletak di Paulus Potterstraat, depan Museum Stedelijk sering dikunjungi tokoh-tokoh nasional untuk berkonsultasi, seperti Mr. Ali Sastroamidjojo, Menteri Luar Negeri Mr. Mohamad Roem, B.M. Diah,Herawati Diah, dan lain-lain.
               Akhir tahun 1949 tanggal 27 Desember, merupakan peristiwa bersejarah yang patut dicatat, karena pada hari itu Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar, di mana Agus Djaya bersama Mr. Syamsuddin, Mr. Mohammad Roem dan lain-lain ikut mempersiapkan “finishing touch"-nya. Dengan demikian, segala jerih payah, misi, dan perjuangan Agus Djaya serta kawan-kawan di Negeri Belanda mencapai kesuksesan, ibarat suatu impian yang menjadi kenyataan. Itulah Agus Djaya selama berada di Negeri Kincir Angin.

KEMBALI KE TANAH AIR
                  Sesudah tugas di Belanda selesai, maka Agus Djaya kembali ke Tanah Air untuk turut mengantar Presiden Sukarno secara resmi memasuki Istana Merdeka. Mr. Syamsuddin atas nama Pemerintah R.I. memberi beliau sehelai Surat Tanda Jasa. Namun, Agus Djaya tidak ingin meminta pamrih atas perjuangan yang telah dilakukan selama menjalankan tugas, karena beliau tidak menginginkan jabatan apapun di pemerintahan saat itu. Hal tersebut beliau anggap tabu dan tercela karena mengotori niat perjuangan yang sudah dilaksanakan sepenuhnya demi bangsa dan negara.
             Agus Djaya sempat berwirausaha bergabung dengan B.M. Diah mendirikan Ipress, sebuah perusahaan di bidang Press Agencies dan Biro Reklame. Namun akibat kondisi Tanah Air yang belum stabil, perusahaan ini menderita kerugian, dan akhirnya Agus Djaya kembali ke dunia Seni Lukis. Pada tahun 1953, Agus Djaya sekeluarga hijrah ke Bali membangun Art Studio, Gallery dan bungalow-bungalow di tepi Pantai Kuta (sekarang Hotel Kuta Beach). Tempat tersebut sering dikunjungi tokoh-tokoh negarawan, ilmuwan, pebisnis, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk para tamu negara yang diantarkan Presiden Sukarno untuk melihat dan membeli lukisan-lukisan dengan harga yang fantastis saat itu.

MASA-MASA SULIT
                 Akhir tahun 1965, setelah peristiwa G. 30 S. PKI, terjadi musibah di mana studio lukis Agus Djaya dibakar, dirusak oleh amuk massa. Saat kejadian itu, Agus Djaya selaku Senior Official Departemen Perdagangan bersama puteranya sedang bertugas keliling berbagai negara Eropa memimpin partisipasi Indonesia dalam beberapa International Art and Handicraft Fair.
                Betapa hancur perasaan Agus Djaya saat mendapat kabar pembakaran dan penghancuran studio lukisnya, berikut semua hasil jerih payahnya  termasuk 750 lukisan, koleksi barang-barang antik, harta benda, kerajinan, serta beberapa bungalow di tepi pantai tersebut. Adapun usaha pengajuan klaim yang diupayakannya ternyata tetap sia-sia. Beruntung saat kejadian perusakan tersebut,istrinya,Staniah, dapat diungsikan dengan selamat oleh polisi ke Jakarta. Agus Djaya akhirnya memulai lagi dari nol untuk merintis kembali usahanya dalam situasi yang sangat sulit di usia yang lanjut.

SEBAGAI FINE ART CONSULTANT
            Agus Djaya dapat dikatakan termasuk satu-satunya konsultan seni lukis berkebangsaan Indonesia yang sangat langka. Aktivitas pertama beliau ditunjukkan pada pengumpulan dan pemilihan ribuan lukisan dan sebagainya untuk 5 jilid Buku Koleksi Presiden Sukarno, berdasarkan surat perintah Presiden Soekarno No. Pres/24 Yogyakarta, tanggal 13 Juli 1946 pada Kolonel Agus Djaya untuk pendaftaran, pengamanan dan sebagainya atas lukisan-lukisan, candi-candi (Borobudur, Prambanan, dan candi lainnya) serta Harta Benda Seni Budaya lainnya
          Perintah Presiden tersebut telah dilaksanakan dengan baik, terbukti sekitar 1000 lukisan dan barang-barang seni lainnya diamankan, kemudian diterbitkan dalam 5 jilid Buku Koleksi Presiden Sukarno. Tidak kurang penting dengan berhasilnya Candi Borobudur, Prambanan dan candi lainnya diselamatkan dari penjarahan, serta perusakan bagian-bagian candi.
            Pada tanggal 30 maret 1949, Agus Djaya secara resmi diangkat sebagai anggota Penasehat Badan Pembelian Lukisan, Harta benda Seni Budaya untuk kota Amsterdam dan Kerajaan Belanda (surat dari Gemeente Amsterdam Afd.K. No. 560A/14, 30 Maret 1949  ttd. Mr. A. de Roos, de Wethouder van Kuntzaken antara lain oleh Federasi Para Seniman Pelukis dan Artis Negeri Belanda. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan Agus Djaja yang luas dan mendalam, naluri yang tajam di bidang Seni Lukis, serta kejujurannya. Sering kali jasa konsultasinya  diminta oleh kolektor Indonesia maupun negara lain seperti Australia, Belgia, Belanda, Jepang, dan lain-lain.

KRITIK SENI YANG MENJATUHKAN
              Seni sejati memang memerlukan dukungan Art Critics dan Art Documentator (Pengamat, Kritikus, dan Penulis) yang harus memiliki pengetahuan dasar ilmu seni lukis yang memadai, jujur dalam pemaparan fakta yang aktual, serta imajinasi dan intuisi yang tepat. Sejarah Seni Lukis sendiri  penuh dengan tragedi, baik di dalam maupun luar negeri. Seperti halnya Vincent van Gogh dan tokoh seni lainnya, begitupun yang terjadi pada Agus Djaya yang dikucilkan oleh Art Critics dan Art Documentator, seperti Dr. Sanento Yuliman yang dalam usahanya mengorbitkan S. Sudjojono dalam Catalogue (3 bahasa). Dalam pameran In Memoriam S. Sudjojono no. 86 di Duta Fine Art Gallery, posisi pendiri dan prestasi Ketua PERSAGI serta para rekan dibikin kacau dan menjadi tidak otentik.
Rizky Dwi Agnesiyana -  mahasiswi Jurusan Seni Rupa FIB Universitas Brawijaya                  

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Agus Djaja - Pelukis Tiga Zaman 1913 - 1994

0 komentar:

Posting Komentar