Budaya , Kesenian , Adat Istiadat, Pengertian budaya, Definisi budaya, Budaya jawa, Budaya lokal, Budaya sunda, Sosial budaya

Senin, 19 Desember 2011

KGPAA Mangkunegara IV - Tokoh Filsafat Moral

             Oleh: Fikky
          Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (KGPAA Mangkunegara IV) lahir pada tanggal 3 Maret 1811 (Senin Pahing, 8 Sapar 1738 tahun Jawa Jumakir, Windu Sancaya) dengan nama kecil Raden Mas Sudira. Ayahnya bernama KPH Adiwijaya I sementara ibunya adalah putri KGPAA Mangkunagara II bernama Raden Ajeng Sekeli. Oleh karena KPH Adiwijaya I adalah putera Raden Mas Tumenggung Kusumadiningrat yang menjadi menantu Sri Susuhunan Pakubuwono III, sedangkan R.A Sekeli adalah puteri dari KGPAA Mangkunagara II, maka secara garis keturunan R.M. Sudira silsilahnya adalah sebagai cucu dari KGPAA Mangkunagara II dan cicit dari Sri Susuhunan Pakubuwono III. Selain itu beliau merupakan cicit dari K.P.A. Adiwijaya Kartasura yang terkenal dengan sebutan Pangeran seda ing lepen abu yang gugur ketika melawan kompeni Belanda. Pada usia 10 tahun beliau dititipkan pada sepupunya, KGPAA Mangkunegara III. Raden Mas Sudira dan diberi nama baru yaitu RMA Gandakusuma.

          Sesuai dengan tradisi, para putera bangsawan tinggi yang telah cukup umur harus mengikuti pendidikan militer Mangkunagaran. KGPAA Mangkunegara IV  pada umur 15 tahun menjadi kadet di Legiun Mangkunagaran.Seperti yang ditulis oleh Letnan Kolonel H.F. Aukes bahwa ada perbedaan pendidikan kadet antara kesatuan tentara Hindia Belanda dengan kesatuan Legioen Mangkoenegaran. Para perwira pelatih di Legioen bukan instruktur, mereka hanya ditugasi membantu memberikan pendidikan pelajaran, selebihnya dilatih sendiri oleh perwira senior Legioen. Begitu lulus pendidikan selama setahun, beliau ditempatkan sebagai perwira baru di kompi 5.
             Baru beberapa bulan bertugas di kancah pertempuran, beliau menerima kabar bahwa KPA Adiwijaya I, ayahandanya mangkat. Dengan berat hati terpaksa beliau meminta izin kepada kakeknya, KGPAA Mangkunagara II yang menjadi panglimanya agar diijinkan pulang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ayahandanya. Setelah pemakaman, KGPAA Manglunegara IV kembali ke kancah pertempuran. Pasukan Legioen berhasil mengalahkan pasukan Pangeran Dipanegara dan menangkap pimpinan pasukan yang dikenal bernama Panembahan Sungki.
            Setelah mendapat gelar Pangeran namanya diubah menjadi KPH Gandakusuma. Beliau menikah dengan R.Ay. Semi, dan dikaruniai 14 anak. Tidak lama setelah KGPAA Mangkunagara III meninggal tahun 1853, KPH Gandakusuma diangkat menjadi KGPAA Mangkunagara IV. Setelah kurang lebih setahun bertahta kemudian menikah dengan R.Ay. Dunuk, putri dalem Mangkunagara III.
               Seperti putra bangsawan lainnya, beliau menjalani proses pendidikan yang penuh dengan ajaran moral dalam nuansa budaya Jawa tradisional. Oleh karena tujuan pendidikan pada waktu itu untuk mengembangkan kepribadian, maka beliau diberi pelajaran tentang etika, yaitu pelajaran tentang bagaimana seseorang harus membawa diri, bersikap, dan melakukan tindakan-tindakan agar dapat hidup menjadi pribadi yang baik. Selain etika dan kebudayaan Jawa, beliau juga diberi pelajaran agama Islam, karena hidup di lingkungan yang telah memiliki tradisi keagamaan yang telah mapan.
        KGPAA Mangkunegara IV wafat pada usia 72 tahun, tepatnya tahun 1810 Jawa atau 1880 Masehi dengan meninggalkan 11 putra-putri.

Jasa-jasa
              Dalam sejarah Mangkunagaran, Mangkunagara IV adalah pemimpin praja yang paling terkemuka, karena sebagai negarawan beliau telah berhasil mengantarkan praja Mangkunagaran memasuki suatu masa yang oleh para pemerhati kebudayaan Jawa disebut dengan kalasumbaga (zaman keemasan). Melalui kebijakan-kebijakan dalam bidang pemerintahan, perekonomian, dan kemiliteran yang dilakukan secara modern, Mangkunagara IV telah berhasil memajukan praja Mangkunagaran, yang sekaligus meletakkan fondasi kemandirian dalam bidang politik, khususnya menyangkut eksistensinya di hadapan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
            Pada masa pemerintahan Mangkunagara IV, perkembangan seni tradisi Jawa yang meliputi sastra, tari, pewayangan, dan karawitan mengalami kemajuan yang pesat di istana Mangkunagaran dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, bahkan sesudahnya. Hal ini menjadikan istana Mangkunagaran sebagai sentra pengembangan kebudayaan Jawa kedua setelah Kasunanan Surakarta pada pertengahan hingga akhir abad ke-19. Semua itu dapat terwujud karena Mangkunagara IV sangat memperhatikan dan ikut terlibat langsung dalam pengembangan bentuk-bentuk kesenian
               Setelah menduduki pucuk pimpinan praja Mangkunagaran, Mangkunagara IV yang memiliki bakat seni yang besar, pergaulan yang luas, dan otoritas dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan, melakukan upaya-upaya untuk mengembangkan seni tradisi Jawa yang meliputi: sastra, tari, pewayangan, dan karawitan.   
 
Bidang Sastra
              Berbeda dengan keraton Surakarta yang merupakan sentra kegiatan kesusastraan Jawa pada abad ke- 18 dan 19, istana Mangkunagaran sama sekali tidak menunjukkan kondisi seperti itu sejak pemerintahan Mangkunagara I (1757-1796) sampai dengan Mangkunagara III (1835-1853). Pada waktu itu, di istana Mangkunagaran dapat dikatakan tidak dihasilkan karya-karya kesusastraan yang adiluhung. Hal ini disebabkan oleh karena Mangkunagaran merupakan “kerajaan” baru yang belum memiliki tradisi kesusastraan. Kegiatan dalam bidang kesusastraan baru terlihat dengan jelas pada masa pemerintahan Mangkunagara IV.
            Prestasi Mangkunagara IV dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu:
- Periode 1842-1856
- Periode 1856-1871
- Periode 1871-1881.
            Dalam periode pertama dan ketiga, Mangkunagara IV menghasilkan karya-karya yang berbentuk tembang yang bersifat deskriptif. Isinya merupakan gambaran dan kesan yang diperoleh dalam perjalanannya ke daerah-daerah selama meniti karier kemiliteran dan pemerintahan, serta pada masa beliau menduduki pucuk pemerintahan praja Mangkunagaran. Dalam periode ketiga, beliau juga menulis tembang-tembang untuk menyambut kedatangan tamu agung. Sementara itu, dalam periode kedua, Mangkunagara IV menghasilkan tembang-tembang yang berisi tentang ajaran-ajaran yang berifat etis atau lazim disebut dengan serat-serat piwulang. Karya-karya itu membicarakan tentang akhlak, sopan-santun, hubungan kerja antara raja dengan rakyatnya, hubungan kaum muda dengan keluarganya, nasihat kepada narapraja, prajurit, dan rakyat Mangkunagaran.
             Hasil karya Mangkunagara IV tidak kurang dari 80 buah. Berdasarkan isi kandungannya, karya-karya itu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu:
•    serat babad, berisi riwayat atau sejarah:
           Karya-karya yang termasuk kategori ini berisi tentang perjalanan Mangkunagara IV ke suatu daerah tertentu, deskripsi tentang tempat-tempat tertentu, dan peristiwa-peristiwa tertentu yang berkaitan dengan perkembangan praja Mangkunagaran. Contoh serat babad adalah Wanagiri, Giripura, Tegalganda, Ngadani Pabrik Tasik Madu, Ngalamat, Babad Serenan, Wredining Bangsal Tosan, Ngadani Bendungan Tambakagung, Ngadani Bendungan Tirtaswara, Srikaton atau Tawangmangu, Nyanjata Sangsam, Wanagiri Prangwadanan, Wredining Pandel Mangkunegara, dan Pesanggrahan Langenharja.
•    serat piwulang, berisi nasihat dan pelajaran:
             Karya yang termasuk dalam kategori serat piwulang berjumlah 17 buah. Adapun karya-karya yang termasuk dalam kategori itu adalah Serat Warayagnya (1856), Serat Wirawiyata (1860), Serat Sriyatna (1861), Serat Nayakawara (1862), Serat Laksitaraja (1867), Serat Salokatama (1870), Serat Paliatma (1870), Serat Pariwara (1881), Serat Palimarma, Serat Darmawasita, Serat Tripama, Serat Yogatama, Serat Pariminta, dan Serat Wedhatama.
•    serat iber, berisi petunjuk tentang pelaksanaan pemerintahan dan nasihat yang berkaitan dengan kehidupan:
             Serat iber adalah surat berbentuk tembang yang ditujukan kepada patih, pegawai, putra putri, kerabat Mangkunagaran, dan teman Mangkunagara IV. Secara substansial, ada tiga jenis serat iber, yaitu:
1.    serat iber yang ditujukan kepada patih dan pegawai Mangkunagaran berisi tentang persoalan pemerintahan dan yang berkaitan dengan hal itu.
2.    serat iber yang ditujukan kepada putera-puteri dan para kerabatnya, berisi nasihat dan kadang-kadang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu.
3.    serat iber yang ditujukan kepada temannya berisi tentang hal tertentu untuk mempererat tali persahabatan.
•    serat panembrama, berisi nyanyian untuk penyambutan tamu:
           Karya-karya Mangkunagara IV yang termasuk dalam kategori serat panembrama adalah Sekar Ageng Citramengeng, Sekar Ageng Kumudasmara, Sekar Ageng Pamularsih, Sekar Ageng Kusumastuti, Sekar Ageng Mintajiwa, Sekar Tengahan Palugon, Sekar Tengahan Pranasmara, Sekar Tengahan Pangajabsih, dan Sekar Macapat Kinanthi Sekar Gadhung, serta cakepan-cakepan gerongan gendhing-gendhing karya Mangkunagara IV yang dalam hal ini semuanya berbentuk ketawang.
•    serat rerepen dan serat manuhara berisi pepatah, teka-teki dan percintaan dengan bahasa yang cukup sopan:
                Karya-karya Mangkunagara IV yang termasuk dalam kategori serat manuhara dan serat rerepen, adalah Manuhara, Pralambang Rara Kenya, Pralambang Kenya Candhala, Jaka Lala, Prayangkara, Prayasmara, Rerepen, dan lain-lain.
.
Bidang Tari
         Sebagai penerus dinasti Mangkunagaran yang harus melestarikan tradisi, sudah barang tentu Mangkunagara IV juga memiliki perhatian dalam pengembangan seni tari di istana Mangkunagaran. Mangkunagara IV menghendaki gadis-gadis dilatih menari topeng. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas penari laki-laki, beliau juga mengambil inisiatif untuk mengadakan latihan tari yang disebut dengan tayungan, yaitu tarian sederhana yang berisi sikap dan gerak-gerak tari yang paling penting dan mendasar.
            Selain mengadakan latihan tari secara rutin, Mangkunagara IV juga mengembangkan tarian yang dalam tradisi Surakarta disebut dengan wireng, yaitu tarian perang keprajuritan yang embrionya telah ada sejak pemerintahan Mangkunagara I.Tari wireng ini menggambarkan peperangan antara dua, empat, delapan atau lebih penari laki-laki yang semuanya mengenakan busana perang dan persenjataan yang sama. Atas gagasan dan inisiatif Mangkunagara IV, dengan melakukan sedikit perubahan pada yang telah ada, pertunjukan wireng tampak menjadi lebih hidup dibandingkan sebelumnya. Di samping itu, ia juga mengembangkan pethilan, yaitu tarian perang antara dua prajurit yang menggambarkan para pahlawan dari cerita wayang.
              Tari-tarian dan drama yang telah dikembangkan berdasarkan gagasan dan inisiatif Mangkunagara IV itu sering dipentaskan dalam puncak acara suatu pesta dan resepsi di istana Mangkunagaran. Pertunjukan itu dapat diselenggarakan secara sempurna karena adanya fasilitas (sarana dan prasarana) yang mencukupi.

Bidang Pewayangan
             Sebagai pendukung kebudayaan Jawa, Mangkunagara IV memiliki perhatian besar dalam dunia seni pewayangan. Pada tahun 1861 beliau memerintahkan untuk membuat wayang purwa dengan babon Kyai Kadung milik kraton Surakarta dengan wanda yang sama. Pembuatan wayang itu selesai pada tahun 1864 Masehi. Oleh karena sangat enak untuk dimainkan, maka wayang ini diberi nama Kyai Sebet
             Seperti halnya di keraton Yogyakarta yang mengembangkan kesenian wayang wong, istana Mangkunagaran juga mengembangkan genre kesenian ini. Wayang wong Mangkunagaran diciptakan oleh Mangkunagara I, diduga merupakan pengembangan lebih lanjut dari beksan wireng dan pethilan-pethilan yang lebih dahulu berkembang di istana Mangkunagaran (Gondowarsito, 1992: 23). Berbeda dengan wayang wong Yogyakarta yang berfungsi sebagai ritual kenegaraan (Soedarsono, 1990), wayang wong Mangkunagaran semata-mata berfungsi sebagai hiburan. Tradisi pertunjukan ini masih dipelihara oleh Mangkunagara IV sebagai salah satu atribut kebesaran istana.
             Selain itu, bermacam-macam pertunjukan juga diadakan, terutama wayang kulit karena sangat disukai oleh Mangkunagara IV. sebagai manifestasi dari kecintaan dan tingginya apresiasi terhadap kesenian Jawa, khususnya seni pewayangan, serta merupakan penghargaan kepada senimannya.    

Bidang Karawitan
             Karawitan merupakan seni yang dipelihara eksistensinya di istana Mangkunagaran sejak masa pemerintahan Mangkunagara. Dalam pengembangan karawitan klenengan, Mangkunagara IV membuat gendhing-gendhing khas Mangkunagaran yang mengutamakan vokal sebagai tulang punggungnya.
Adapun gendhing-gendhing karya Mangkunagara IV yang sangat terkenal adalah
-Ketawang Langen Gita Slendro Pathet Sanga
- Ketawang Rajaswala Slendro Pathet Sanga
 -Ketawang Walagita Pelog Pathet Nem,
-Ketawang Puspanjala Pelog Pathet Nem,
-Ketawang Sitamardawa Pelog Pathet Barang,
-Ketawang Puspagiwang Pelog Barang,
-Ketawang Puspawarna Slendro Pathet Manyura,
-Ketawang Tarupala Slendro Pathet Sanga,
-Ketawang Lebdasari Slendro Pathet Manyura.
            Gendhing-gendhing karya Mangkunagara IV itu telah memberikan pengaruh dalam perkembangan seni karawitan. Dengan kata lain, gendhing-gendhing itu telah memberikan sumbangan yang tinggi nilainya dalam dunia seni karawitan.
                 Usaha Mangkunagara IV dalam mengembangkan seni tradisi Jawa tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi juga ditindaklajuti dengan kegiatan yang menunjukkan betapa besar perhatiannya dalam bidang itu. Hal ini dibuktikan dengan sebuah fakta, bahwa beliau juga berusaha memperkenalkan seni tradisi Jawa ke luar negeri. Pada tanggal 26 Januari 1875, beliau mengirimkan sebuah misi kesenian Jawa dalam rangka pameran kebudayaan di Belanda. Pada pameran kebudayaan itu, Mangkunagara IV memamerkan beberapa perabot Pura Mangkunagaran, peralatan wayang wong dan wireng, wayang kulit, dan seperangkat gamelan dengan wiyaga-nya (Serat Babad Mangkoenagaran: 182 dan Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara ingkang kaping IV: 36).

Bidang Lainnya

          Selama bertahta, Mangkunegara IV mendirikan pabrik gula di Colomadu (sebelah barat laut kota Surakarta) dan Tasikmadu, memprakarsai berdirinya Stasiun Solo Balapan sebagai bagian pembangunan rel kereta api Solo – Semarang, kanalisasi kota, serta penataan ruang kota.

Pandangan-pandangan
           Mangkunegara IV memiliki pandangan dan ajaran tentang kehidupan sebagai berikut:

Ajaran-ajaran
              Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.
             Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:
“Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton”
             Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. \
             Sembah Cipta, kadang-kadang disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut :
              “Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang momong”
             Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati, maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan. Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).
             Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:
                “Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa sutengong”
                Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu,sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwaini, tampak dengan jelas pada bait berikut:
               “Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota”
                Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
               Sembah rasa berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.
               Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebuttelenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).
             Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atauwosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.
               Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:
        “Semengko ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur / sembah rasa karasa wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan kasing bato”.

Pandangan Ekonomi
               Dalam Serat Wedhatama, Mangkunegara IV banyak melukiskan konsep berusaha yang ideal dalam pandangan Jawa. Satu di antaranya, ia menekankan perlunya Asta Gina, yakni ajaran yang berisi delapan prinsip mendasar bagi pelaku dagang (bisnis) agar tak semata mengejar laba. Hakikat berusaha, dalam pandangan Mangkunegara IV, adalah meningkatkan etos dan sekaligus etika kerja.
1.    Panggautan gelaring pambudi. Artinya, tiap usaha yang dijalankan harus digeluti secara maksimal.
2.    Rigen, yakni cerdas memilih jalan keluar bagi suatu masalah.
3.    Gemi, yaitu sikap hidup hemat dan mampu menabung keuntungan.
4.    Nastiti. Artinya, kecermatan dan ketelitian mutlak dibutuhkan dalam bekerja untuk memperoleh hasil yang dikehendaki.
5.     Weruh ing petungan. Seorang pebisnis harus punya kalkulasi untung-rugi yang matang.
6.     Taberi tatanya. Jangan pernah malu bertanya pada para ahli atau pakar.
7.    Nyegah kayun pepinginan. Jika ingin sukses lahir batin, seseorang harus menjauhi sikap hura-hura dan menahan diri dari segala hawa nafsu.
8.    Nemen ing seja, yaitu ketetapan hati dan kebulatan tekad dalam berusaha.
                 KGPAA Mangkunegara IV adalah seorang pemimpin yang sangat berjasa dalam melestarikan kebudayaan Indonesia khususnya kebudayaan Jawa. Dibawah kepemimpinannya, Kesultanan Surakarta mampu mejadi acuan untuk melestarikan kebudayaan Jawa. Beliau sangat berjasa dalam melesterikan dan mengembangkan kebudayaan di bidang sastra, tari, pewayangan, dan karawitan. Selain di bidang kebudayaan, KGPAA Mangkunegara IV juga berjasa di bidang politik, ekonomi, dan juga sosial. Beliau mendirikan pabrik gula di Colomadu, memprakarsai berdirimya Stasiun Solo Balapan, kanalisasi kota, dan penataan ruang kota. KGPAA Mangkunegara IV juga mempunyai ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan ekonomi antara lain, sembah raga, sembah kalbu, sembah jiwa, dan sembah raga. Selain itu beliau juga melukiskan konsep berusaha yang ideal dalam pandangan Jawa yang tidak hanya mengejar keuntungan tetapi juga meningkatkan etos dan etika kerja.
Sumber: Wikipedia.com, http://www.ruangbaca.com,  www.digilib.uns.ac.id,  http://blogkejawen.blogspot.com,  undip.ac.id weblog,  JogjaTrip.com

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : KGPAA Mangkunegara IV - Tokoh Filsafat Moral

0 komentar:

Posting Komentar